Kamis, 10 Oktober 2013

Pesan Habib Munzir



saya ingin menyampaikan tentang semakin semaraknya perpecahan antara muslimin, disini kita mendapatkan perintah dari guru mulia kita Al-hafidh Al-Musnid Al-Habib Umar bin Hafizh, untuk tidak melibatkan diri dalam demo, apakah demo damai atau demo anarkis, beliau mengatakan semua demo damai atau anarkis sama saja dan jangan dilakukan, karena itu akan memanaskan daripada perpecahan muslimin, jadi mereka yang berdemo silahkan saja, tapi Majelis Rasulullah SAW mau menghindari, seruan beliau disampaikan untuk para ulama dan para kiayi, seraya berkata; sampaikan pada kiayi-kiayi kita dan para ulama kita dan semua orang-orang yang mengenalku, katakan bahwa Umar mengatakan hal ini, untuk menarik diri, “la yatada’ul bihalil-amr” mundur daripada segala acara seperti itu, tugas kita adalah “ittaqullah wa da’wah ilallah la ghoiro dzalik” tugas kita adalah taqwa kepada Allah dan memperluas dakwah Allah SWT, tidak lebih dari itu” dari gerakan-gerakan muslimin

Demikian intruksi langsung dari beliau, oleh sebab itu saya mohon hadirin hadirot menahan diri untuk berangkat, acara apa pun mengatas namakan demo atau unjuk rasa, jadi mereka yang akan berangkat saya harap jangan pakai atribut Majelis Rasulullah, jangan sampai terlihat ada bendera Majelis Rasulullah. Yang berjuang dengan kekerasan dan ketegasan silahkan dan kita berjuang dengan kedamaian, jadi muslimin tidak kemana-mana, kalau semua kekerasan, nanti muslimin yang suka kelembutan jadinya kecil, jadi muslimin tidak kemana-mana, yang mau ikut dengan ketegasan ada kelompoknya, ada orangnya muslimin muslimat, yang dengan kedamaian diantaranya Majelis Rasulullah SAW, jadi saya mohon jangan khianati Majelis Rasulullah, dengan memakai jaket Majelis Rasulullah dan bendera Majelis Rasulullah diacara-acara tersebut, karena ini intruksi langsung dari guru mulia kita.

Hadirin hadirot yang dimuliakan Allah.
Tentunya dalam permasalahan ini kita menghendaki kedamaian muncul dalam jiwa kita, itu saja, sekarang tugas kita menciptakan kedamaian bagi muslimin muslimat yang semakin panas ini, jangan ditambahi lagi permusuhan, terus kita damaikan saja, kita rangkul muslimin muslimat yang terus berjuang, jangan diperangi atau jangan dicaci atau disalahkan, silahkan mereka terus berjuang, masing-masing punya cara dalam perjuangan, kita Majelis Rasulullah tidak diam terhadap ahmadiyah, tapi cara kita bukan dengan unjuk rasa pada pemerintah, kita setiap malam, sebelum ini diributkan dan didemo, sudah membenahi keadaan muslimin muslimat dengan cara mengenalkan sosok Muhammad Rasulullah SAW.

Hadirin, masalah bukan hanya ahmadiyah, ahmadiyah ini jumlahnya tidak satu prosen muslimim muslimat di Indonesia, ada narkoba, ada perzinahan, ada perjudian, ada pemurtadan, ada misionaris, dan lain sebagainya, jadi dengan cara yang saya sampaikan dan guru-guru kita sampaikan adalah membenahi umumnya keadaan, membenahi segala kerusakan, perlahan-lahan tentunya, setiap malam Majelis Rasulullah ada majelis dimana-mana, terus membenahi masyarakat dan mempunyai hasil, dari tahun 1998 sampai sekarang, sepuluh tahun, ini majelis awalnya sembilan orang, sekarang mencapai hampir 2 Jutaan, dan juga bukan hanya disini, ini majelis mingguan saja, di wilayah-wilayah lain juga terus, ini pembenahan muslimin muslimat, dan semakin makmur hal-hal yang seperti ini, semakin terdesak semua aliran-aliran sesat, Alhamdulillah malam hari ini ada yang masuk Islam dan terus dan terus dan terus, hadirin hadirot kita bersatu, yang dengan ketegasan silahkan, yang dengan kedamaian, jadi muslimin tidak kemana-mana, silahkan saja mau pilih yang mana, tapi jangan sampai Majelis Rasulullah SAW dilibatkan kesana, karena tadi sudah ada telpon dari POLDA juga dari beberapa aparat, apakah Majelis Rasulullah ikut, karena ada yang memakai bendera Majelis Rasulullah? Saya bilang; yang ikut karena belum tahu saja, karena memang mungkin tidak sampai kabarnya.

Demikian hadirin hadirot yang dimuliakan Allah, untuk pribadi saya, saya tidak takut ditangkap, cuma yang saya takutkan, kalau dakwah ini terhambat, itu saja. Hadirin hadirot, kendala diMajelis Rasulullah bukan tidak ada, dari dulu, tahun 2000 saya sudah pernah diracun dirumah sakit hingga lumpuh, hingga dokter katakan tidak bisa sembuh, terkecuali delapan tahun baru bisa berdiri lagi, tapi Alhamdulillah dengan doa guru mulia kita, saya bisa berdiri lagi hanya dua bulan saja dikursi roda, kata dokter delapan tahun, tidak akan sembuh itu lumpuh, karena apa? karena obat yang berlebihan dosisnya, disengaja dirumah sakit non muslim, tahun 2002 saya menuju cipanas di sabotase dan mobil kita dihantamkan kepada tembok beton, mobilnya hancur, orang yang lihat mobil, tidak percaya orang yang didalamnya selamat, itu tahun 2002 kejadian sabotase seperti itu, tahun 2004 saya diracun, dibawakan buah parsel yang sudah diracun, tentunya hal seperti ini terus datang, tapi tentunya Allah terus melindungi kita insya Allah, dan saya selalu bermunajat kepada Allah, seandainya saya harus wafat dalam perjuangan ini, jangan wafatkan sebelum Jakarta menjadi serambi Madinatul Munawarah, sebelum Jakarta ini damai dengan panji sayyidina Muhammad SAW wabarak’alaih.

Sejarah Singkat Laksamana Cheng Ho.

Laksamana Cheng Ho Untuk mengenal lebih jauh tentang seorang pelaut Muslim dari negeri cina yang dalam sejarah Indonesia di kenal dengan nama Laksamana Cheng Ho beliau adalah seorang keturunan dari baginda Nabi Muhammad Rasulullah Salalllahu Alaihi Wasallam, Laksamana Sam Po Kong dikenal dengan nama Zheng He, Cheng Ho, Sam Po Toa Lang, Sam Po Thay Jien, Sam Po Thay Kam, dan lain-lain. Laksamana Sam Po Kong berasal dari bangsa Hui, salah satu bangsa minoritas Tionghoa. Laksamana Cheng Ho adalah sosok bahariawan muslim Tionghoa yang tangguh dan berjasa besar terhadap pembauran, penyebaran, serta perkembangan Islam di Nusantara. Cheng Ho (1371 – 1435) adalah pria muslim keturunan Tionghoa, berasal dari propinsi Yunnan di Asia Barat Daya. Ia lahir dari keluarga muslim taat dan telah menjalankan ibadah haji yang dikenal dengan haji Ma. Konon, pada usia sekitar 10 tahun Cheng Ho ditangkap oleh tentara Ming di Yunnan. Pangeran dari Yen, Chung Ti, tertarik melihat Cheng Ho kecil yang pintar, tampan, dan taat beribadah. Kemudian ia dijadikan anak asuh. Cheng Ho tumbuh menjadi pemuda pemberani dan brilian. Di kemudian hari ia memegang posisi penting sebagai Admiral Utama dalam angkatan perang. Pada saat kaisar Cheung Tsu berkuasa, Cheng Ho diangkat menjadi admiral utama armada laut untuk memimpin ekspedisi pertama ke laut selatan pada tahun 1406. Sebagai admiral, Cheng Ho telah tujuh kali melakukan ekspedisi ke Asia Barat Daya dan Asia Tenggara. Selama 28 tahun (1405 – 1433 M) Cheng Ho telah melakukan pelayaran muhibah ke berbagai penjuru dunia dengan memimpin kurang lebih 208 kapal berukuran besar, menengah, dan kecil yang disertai dengan kurang lebih 27.800 awak kapal. Misi muhibah pelayaran yang dilaksanakan oleh Laksamana Cheng Ho bukan untuk melaksanakan ekspansi, melainkan melaksanakan misi perdagangan, diplomatik, perdamaian, dan persahabatan. Ini merupakan pelayaran yang menakjubkan, berbeda dengan pengembaraan yang dilakukan oleh pelaut Barat seperti Cristopherus Colombus, Vasco da Gamma, atau pun Magelhaes. Sebagai bahariawan besar sepanjang sejarah pelayaran dunia, kurang lebih selama 28 tahun telah tercipta 24 peta navigasi yang berisi peta mengenai geografi lautan. Selain itu, Cheng Ho sebagai muslim Tiong Hoa, berperan penting dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara. Pada perjalanan pelayaran muhibah ke-7, Cheng Ho telah berhasil menjalankan misi kaisar Ming Ta’i-Teu (berkuasa tahun 1368 – 1398), yaitu misi melaksanakan ibadah haji bagi keluarga istana Ming pada tahun 1432 – 1433. Misi ibadah haji ini sengaja dirahasiakan karena pada saat itu, bagi keluarga istana Ming menjalankan ibadah haji secara terbuka sama halnya dengan membuka selubung latar belakang kesukuan dan agama. Untuk mengesankan bahwa pelayaran haji ini tidak ada hubungannya dengan keluarga istana, sengaja diutus Hung Pao sebagai pimpinan rombongan. Rombongan haji itu tidak diikuti oleh semua armada dalam rombongan ekspedisi ke-7. Rombongan haji ini berangkat dari Calleut (kuli, kota kuno) di India menuju Mekkah (Tien Fang). Demikianlah misi perjuangan dan misi rahasia menunaikan ibadah haji yang dijalankan Cheng Ho, dan misi tersebut berhasil. Akan tetapi Cheng Ho merasa sedih karena tidak bisa bebas berlayar menuju tanah leluhurnya, Mekkah, untuk beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya, pada ekspedisi ke-5, armada Cheng Ho telah berhasil mencapai pantai timur Afrika dalam waktu tiga tahun. Dalam kesempatan tersebut, armada Cheng Ho berkunjung ke kerajaan di Semenanjung Arabiah dan menunaikan panggilan Allah ke Mekkah. Sejarah tentang perjalanan muhibah Cheng Ho, hingga saat ini masih tetap diminati oleh berbagai kalangan, baik kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya, maupun masyarakat keturunan Tionghoa. Chneg Ho telah menjadi duta pembauran negeri Tiongkok untuk Indonesia yang diutus oleh kaisar Dinasti Ming pada tahun Yong Le ke-3 (1405). Dalam tujuh kali perjalanan muhibahnya ke Indonesia, Laksamana Cheng Ho berkunjung ke Sumatera dan Pulau Jawa sebanyak enam kali. Kunjungan pertama adalah ke Jawa, Samudera Pasai, Lamrbi (Aceh Raya), dan Palembang. Sebagian besar daerah yang pernah dikunjungi Cheng Ho menjadi pusat dagang dan dakwah, diantaranya Palembang, Aceh, Batak, Pulau Gresik, Semarang (di sekitar Gedong Batu), Surabaya, Mojokerto, Sunda Kelapa, Ancol, dan lain-lain. Gerakan dakwah pada masa itu telah mendorong kemajuan usaha perdagangan dan perekonomian di Indonesia. Dalam perjalanan muhibahnya, setiap kali singgah di suatu daerah ia banyak menciptakan pembauran melalui bidang perdagangan, pertanian, dan peternakan. Misi muhibah yang dilakukan Cheng Ho memberikan mamfaat yang besar bagi negeri yang dikunjunginya. Silsilah lengkap Laksamana Cheng Ho (di Tulis dalam bahasa Cina ): Cheng Ho (Zheng He, Ma He, Ma Sanbao atau Haji Mahmud Shams 1371–1433) bin Mi-Li-Jin (Ma Ha Zhi ) bin Mi-Di-Na (Haji) bin Bai-Yan bin Na-Su-La-Ding bin Sau-Dian-Chi (Sayyid Syamsuddin atau Sayyid Ajall (Raja Bukhara)) bin Ma-Ha-Mu-Ke-Ma-Nai-Ding bin Ka-Ma-Ding-Yu-Su-Pu bin Su-Sha-Lu-Gu-Chong-Yue bin Sai-Yan-Su-Lai-Chong-Na bin Sou-Fei-Er (Sayid Syafi'i) bin An-Du-Er-Yi bin Zhe-Ma-Nai-Ding bin Cha-Fa-Er bin Wu-Ma-Er bin Wu-Ma-Nai-Ding bin Gu-Bu-Ding bin Ha-San bin Yi-Si-Ma-Xin bin Mu-Ba-Er-Sha bin Lu-Er-Ding bin Ya-Xin bin Mu-Lu-Ye-Mi bin She-Li-Ma bin Li-Sha-Shi bin E-Ha-Mo-De bin Ye-Ha-Ya bin E-Le-Ho-Sai-Ni bin Xie-Xin bin Yi-Si-Ma-Ai-Le bin Yi-Bu-Lai-Xi-Mo (Ali Zainal Abidin) bin Hou Sai-Ni (Sayyidina Hussain) bin Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah yang menikah dengan Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam. *kutipan dari buku "Ahlul Bait Rasulullah SAW & Kesultanan Melayu" Dari silsilah ini diketahui bahwa Laksamana Cheng Ho memang seorang muslim keturunan Rasulullah Salallahu Alayhi Wasalllam. Moyang Laksamana Cheng Ho adalah Sayyid Syamsuddin, putera Sultan Bukhara yang dikalahkan Ghenghiz Khan. Sayid Syamsuddin jadi tawanan di Peking (Beijing). Karena akhlaknya yang mulia, beliau bukan saja dibebaskan, tapi malah diangkat jadi Penolong Menteri di Yunnan.

Riwayat Hidup Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari



Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al- Banjari (lahir di Lok Gabang, 17 Maret 1710 – meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun atau 15 Shofar 1122 – 6 Syawwal 1227 H)[1] adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Beliau hidup pada masa tahun 1122-1227 hijriyah. Beliau
mendapat julukan anumerta Datu Kelampaian. Beliau adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin
yang banyak menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.[2]

Silsilah keturunan Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq,[3] berpendapat bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao. Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al
Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan
Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar
Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin
Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar
(datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin
Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark
bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah
bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An
Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.[3][4][5]

Riwayat Masa kecil Diriwayatkan, pada waktu Sultan Tahlilullah (1700 - 1734 M) memerintah Kesultanan Banjar, suatu hari ketika berkunjung ke kampung Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia sekitar 7
tahun sedang asyik menulis dan menggambar, dan
tampaknya cerdas dan berbakat, dicerita-kan pula
bahwa ia telah fasih membaca Al-Quran dengan
indahnya. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan
meminta pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama
dengan anak-anak dan cucu Sultan.

Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia
mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan
dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut. [6] Hasil perkawinan tersebut ialah seorang putri yang diberi nama Syarifah. Ketika istrinya mengandung anak yang pertama,
terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu
keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah
suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta. Meskipun dengan berat hati mengingat usia
pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya
isterinya mengamini niat suci sang suami dan
mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka,
setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah
Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa
mengiringi kepergiannya. Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada
masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru
beliau adalah Syekh ‘Athoillah bin Ahmad al-Mishry,
al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi
dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul
Karim al-Samman al-Hasani al-Madani. Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru
Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di
bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad
melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat
ijazah darinya dengan kedudukan sebagai
khalifah. Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu,
timbullah kerinduan akan kampung halaman.
Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi
yang di arak barisan pepohonan aren yang
menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di
pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran
sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai
kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan
Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah
banyak membantunya telah wafat dan digantikan
kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama
Islam di kerajaannya. Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap
rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang
ulama "Matahari Agama" yang cahayanya
diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar.
Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci
dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada
keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada
umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah
seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’[7]. Selama hidupnya ia memiliki 29 anak dari tujuh isterinya. [8]

Hubungan dengan Kesultanan Banjar Pada waktu ia berumur sekitar 30 tahun, Sultan
mengabulkan keinginannya untuk belajar ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan. Lebih dari
30 tahun kemudian, yaitu setelah gurunya
menyatakan telah cukup bekal ilmunya, barulah
Syekh Muhammad Arsyad kembali pulang ke
Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah seorang
yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu
memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan
agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang
meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad agar
menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab
Sabilal Muhtadin. Pengajaran dan bermasyarakat Makam Datu Kalampayan yang sering dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah
pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah
membuka tempat pengajian (semacam pesantren)
bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-
kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai
tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat
penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang
merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar. Di samping mendidik, ia juga menulis beberapa
kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya
serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yang
terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang
merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-
pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara
dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di
luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara
Brunai Darussalam. Karya-karyanya Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling
terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau
selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-
tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam
terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang
yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad
telah menulis untuk keperluan pengajaran serta
pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya ialah:[9] Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat
Duapuluh, Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang
membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang
sesat, Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita
serta tertib suami-isteri, Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata. Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran
penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-
muridnya kemudian dihimpun dan menjadi
semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat
syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang
berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai
bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-
pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.